Tax and Derivative Transactions

PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI TRANSAKSI DERIVATIF

PENDAHULUAN

Perdagangan antar negara pada umumnya menimbulkan pilihan bagi pelaku binis mengenai currency (mata uang) yang akan dipakai dalam kontrak dagang yang akan dilakukan. Disebut pada umumnya karena bagi negara-negara Eropa yang tergabung dalam masyarakat uni eropa (European Union) sejak Januari 2002 berlaku mata uang Euro sebagai mata uang tunggal. Dapat pula terjadi bahwa pilihan mata uang yang dipakai dalam suatu kontrak dagang antar pelaku bisnis di satu negara adalah mata uang negara lain yang dianggap lebih kuat dan stabil, hal ini dilakukan biasanya oleh para pelaku bisnis di negara berkembang seperti Indonesia yang menggunakan mata uang dolar Amerika Serikat.Perbedaan mata uang yang berlaku di setiap negara (kecuali Euro untuk negara-negara Uni Eropa), dan terutama sekali perbedaan serta fluktuasi nilai beli (purchasing power) dari mata uang negara-negara tersebut berpotensi menimbulkan resiko antara lain kerugian selisih kurs bagi pelaku bisnis yang melakukan perdagangan dan atau transaksi dalam berbagai mata uang (currency). Sebaliknya fluktuasi dan perbedaan purchasing power dari berbagai mata uang tersebut dapat dilihat sebagai peluang untuk mendapatkan keuntungan.Untuk menghindari risiko kerugian yang timbul dari transaksi-transaksi yang melibatkan berbagai mata uang tersebut, telah berkembang berbagai instrumen derivatif antara lain forward contract, swap contract dan option contract. Instrumen derivatif tersebut dapat juga digunakan untuk barang-barang komoditi dan surat berharga yang diperdagangkan di pasar modal. Di samping untuk tujuan melindungi kepentingan pelaku bisnis atas kontrak-kontrak yang telah dibuat, kontrak-kontrak derivatif dapat juga dibuat semata-mata untuk tujuan mendapatkan keuntungan, dengan melakukan spekulasi atas perubahan tingkat suku bunga, kurs mata uang asing dan harga komoditi.Banyak peristiwa yang telah mempopulerkan transaksi derivatif di dunia. Salah satunya adalah bangkrutnya Barings Bank yang merupakan bank tertua di Inggris pada tanggal 27 Februari 1995 atas transaksi kontrak option dan kontrak futures yang dilakukan oleh Nicholas Leeson seorang trader di kantor Barings Bank Singapura. Transaksi kontrak option dan kontrak futures dilakukan terhadap indeks Nikkei 225, dan kerugian yang ditimbulkan adalah sebesar US $ 1,4 milyar. Contoh lain adalah peristiwa yang menimpa Metallgesellschaft yang hampir bangkrut akibat permainan kontrak futures. Di Indonesia, pada tahun 1990 kasus Bank Duta yang menderita kerugian sebesar US $ 419 juta sebagai akibat transaksi valuta asing. Kasus lainnya yang terjadi di Indonesia antara lain adalah kerugian sebesar US $ 35 juta yang dialami oleh PT Indah Kiat Pulp & Paper dan US $ 12,5 juta yang dialami oleh PT Tjiwi Kimia sebagai akibat transaksi interest swap dan forward currency contract pada tahun 1994. Uraian dan peristiwa-peristiwa tersebut memberi pelajaran bagi kita bahwa transaksi menggunakan instrumen derivatif mempunyai risiko yang besar. Tetapi sesuai dengan konsep high risk high return, transaksi intrumen derivatif juga memberikan keuntungan yang tinggi. Itulah sebabnya, banyak pihak yang memakai intrumen derivatif untuk tujuan spekulasi selain untuk tujuan lindung nilai.Mengingat semakin besarnya peran transaksi derivatif dalam perdagangan internasional dan meningkatnya transaksi/perdagangan uang secara global maka kebijakan fiskal yang tepat untuk transaksi derivatif mempunyai potensi untuk meningkatkan penerimaan negara dari pajak penghasilan atas penghasilan transaksi derivatif. Di bawah ini akan dijelaskan berbagai instrumen derivatif seperti future, forward, option dan swap.

INSTRUMEN DERIVATIF

Instrumen-instrumen derivatif merupakan persetujuan-persetujuan formal untuk mentransfer risiko dari satu pihak ke pihak lain tanpa harus mentransfer instrumen dasarnya. Banyak instrumen derivatif ini didasarkan pada kejadian-kejadian kontinjensi di masa depan, sehingga tidak memiliki ciri-ciri yang sama dengan instrumen dasar seperti obligasi atau saham. Contohnya adalah swap suku bunga (interest swap) yang mentransfer risiko suku bunga tanpa mentransfer instrumen hutang (misalnya obligasi) yang mendasarinya. Instrumen derivatif dapat diartikan pula sebagai instrumen yang nilainya ditentukan oleh aset lain. Aset yang dijadikan dasar transaksi derivatif dapat berupa aset finansial (seperti saham, mata uang, obligasi, suku bunga) dan aset non finansial (barang-barang komoditas seperti karet, kapas,dll)Sedangkan derivatif adalah terminologi generik untuk futures, forwards, swaps dan option yaitu instrumen finansial yang merupakan turunan/derivat dari perjanjian dasar (underlying contract) menyangkut efek, mata uang dan komoditi. Derivatif dapat diklasifikasikan sebagai derivatif berbasis forward dan derivatif berbasis option. Derivatif berbasis forward (forward-based-derivatives) meliputi kontrak futures dan swap, sedangkan derivatif berbasis option (option-based-derivatives) meliputi kontrak opsi. Instrumen derivatif berupa currency futures, currency forward, currency options dan currency swap mempunyai aset dasar (underlying asset) berupa currency. Sedangkan instrumen derivatif berupa interest rate futures, interest rate forward, interest rate options dan interest swap mempunyai aset dasar (underlying asset) berupa interest rate.FuturesSuatu kontrak futures merupakan suatu perjanjian yang mewajibkan kedua belah pihak yang melakukan transaksi, yaitu untuk membeli (long position) atau menjual (short position) suatu aset dasar (underlying asset) tertentu yang penyerahannya (delivery) dilakukan di waktu yang akan datang dengan harga yang telah ditetapkan pada saat kontrak. Alternatif lain dari kontrak futures, kontrak futures melibatkan penempatan kas (bukan pengiriman) dan dapat dibatalkan sebelum pengiriman dengan melakukan offsetting contract bagi instrumen keuangan yang sama.Transaksi futures ini pada awal perkembangannya digunakan dalam perdagangan komoditas yaitu untuk menjual suatu komoditas (misalnya komoditas pertanian) dari hasil panen di masa yang akan datang dengan harga yang ditetapkan sekarang. Berbeda dengan kontrak forward, suatu kontrak futures adalah suatu kontrak terstandarisasi antara dua pihak, melibatkan ketentuan-ketentuan terstandarisasi, dalam hal jumlah dan tanggal pengiriman, diperdagangkan dalam suatu organized exchange ( seperti New York Futures Exchange, Singapore Money Exchange), dikuotasikan sesuai dengan harga pasar setiap hari, dan harus memenuhi persyaratan-persyaratan marjin periodik. Biasanya kontrak futures dilakukan dengan cara pembayaran tunai (cash settlement) dan bukan melalui penyerahan fisik aset dasarnya. Kerugian-kerugian dari suatu kontrak futures biasanya menimbulkan suatu margin call, sedangkan keuntungan menimbulkan pembayaran kas.Kontrak futures, seperti halnya swap, umumnya digunakan oleh treasurer-treasurer korporasi untuk memindahkan risiko perubahan harga kepada pihak lain. Kontrak futures juga bisa digunakan untuk berspekulasi mengenai pergerakan harga atau untuk mengeksploitasi anomali-anomali jangka pendek dalam penentuan harga kontrak futures-kontrak futures internasional.Contoh futures :PT X bermaksud untuk membeli yen Jepang dalam waktu 3 bulan dan khawatir dengan kemungkinan naiknya suku bunga selama waktu tersebut. Untuk meng-hedge kemungkinan ini, PT X melakukan perjanjian untuk menjual, di masa depan, sejumlah kontrak futures atas obligasi jangka pendek pemerintah yang harganya terikat dengan suku bunga 3-month Euro-deposits. Dikuotasikan dengan diskon dari 100 (yaitu, 100 kurang suku bunga dari instrumen dasar pada tanggal pengiriman), harga dari masing-masing kontrak akan jatuh jika suku bunga meningkat. Laba yang dihasilkan dari kontrak-kontrak futures, yang sebenarnya mewakili short-sale obligasi berjangka waktu 3 bulan, akan menutupi kenaikan biaya bunga PT X.PT X pada tanggal 1 Mei 2007 membeli kontrak futures atas komoditas pertanian dengan tanggal jatuh tempo kontrak 30 Oktober 2007. Kontrak futures sebesar 10.000 per kontrak dengan harga sebesar US $ 5 per kontrak. Apabila PT X tersebut menjual kontrak futures tersebut pada tanggal tertentu (misalnya 20 Oktober 2007) pada harga yang berlaku pada tanggal tersebut (misalnya US $ 6) maka PT X tersebut akan memperoleh keuntungan sebesar (US $ 6 – US $ 5) X 10.000 = US $ 10.000. Sebaliknya jika harga futures yang berlaku untuk tanggal tersebut sebesar US $ 4, maka PT X tersebut menderita kerugian sebesar (US $ 5 – US $ 4) X 10.000 = US $ 10.000. Oleh karena instrumen futures kebanyakan digunakan untuk lindung nilai maka transaksi futures bukan dimaksudkan untuk dapat memiliki underlying asset-nya (dalam hal ini komoditas pertanian). Dengan demikian, transaksi futures selalu diselesaikan sebelum berakhirnya masa kontrak transaksi futures tersebut.ForwardKontrak forward merupakan suatu kontrak atau perjanjian antara dua pihak dengan hak dan kewajiban timbal balik yang direalisasikan/delivery dimasa yang akan datang dengan syarat-syarat yang telah ditentukan pada saat kontrak dibuat. Obyek dari kontrak bisa berupa jual beli atau pertukaran mata uang dengan jumlah dan kurs tertentu, surat berharga atau komoditi dengan jumlah dan harga tertentu. Kontrak forward umumnya digunakan oleh para importir atau eksportir pada saat barang, yang di-invoice dalam valuta asing, dibeli dari atau dijual kepada pihak-pihak di luar negeri. Tujuan dari kontrak forward adalah untuk melindungi risiko keuntungan atau kerugian transaksi yang timbul akibat fluktuasi nilai tukar antara tanggal transaksi dan tanggal penyelesaian. Kontrak forward juga digunakan untuk meng-hedge piutang atau hutang valuta asing (komitmen-komitmen valuta asing), untuk menutupi keuntungan dan kerugian translasi, dan untuk melakukan spekulasi valuta asing.Pada dasarnya transaksi forward tidak berbeda dengan transaksi futures, perbedaannya terletak pada tempat perdagangannya. Kontrak forward diperdagangkan di luar bursa (over the counter), dengan demikian, bentuk dari instrumen forward dapat dibuat sesuai dengan keinginan masing-masing pihak yang melakukan transaksi (umumnya disebut tailor made). Harga yang disetujui dalam suatu forward contract disebut sebagai “delivery price”, tanggal penyerahan disebut “maturity/settlement date”. Tidak terdapat initial payment pada saat penandatanganan kontrak. Transaksi forward contract diselesaikan pada tanggal penyerahan, di mana pembeli wajib untuk menerima aset dasar dan membayar sesuai dengan harga yang telah disepakati dan penjual wajib menyerahkan aset dasar tersebut dengan harga yang telah disepakati bersama.Sedangkan kontrak forward, dimana obyek dari kontrak berupa jual beli atau pertukaran mata uang di masa depan dan pada kurs tetap yang disebut kurs forward. Perbedaan antara kurs forward dan kurs spot yang berlaku pada tanggal kontrak forward menimbulkan premium (kurs forward > kurs spot) atau diskon (kurs forward < 360 =" Rp" 50 =" Rp" 1 =" Rp" 1 =" 0,55">

PEMAJAKAN ATAS PENGHASILAN DARI TRANSAKSI DERIVATIF

Hal-hal yang terkait dengan pemajakan atas penghasilan dari transaksi derivatif pada dasarnya menyangkut :Apakah penghasilan dari transaksi derivatif diperlakukan sebagai business income atau interest income ?Masalah perlakuan penghasilan dari transaksi derivatif sebagai business income atau interest income sangat penting dalam hal transaksi derivatif merupakan transaksi derivatif lintas negara. Artinya hak atas pemajakan negara sumber akan ditentukan berdasarkan penggolongan penghasilan dari transaksi derivatif. Apabila penghasilan dari transaksi derivatif diperlakukan sebagai business income maka negara sumber baru berhak mengenakan pajak penghasilan atas penghasilan dari transaksi derivatif tersebut jika ada bentuk usaha tetap di negara sumber tersebut. Sebaliknya, apabila penghasilan dari transaksi derivatif diperlakukan sebagai interest income maka negara sumber berhak mengenakan pajak penghasilan atas penghasilan dari transaksi derivatif tanpa memperhatikan apakah ada bentuk usaha tetap atau tidak di negara sumber yang bersangkutan.Kapan penghasilan dan kerugian (biaya) dari instrumen derivatif harus diakui ?Masalah pengakuan penghasilan atau kerugian (biaya) dari transaksi derivatif terkait dengan kapan suatu penghasilan derivatif akan dikenakan pajak atau kerugian transaksi derivatif boleh dibebankan sebagai pengurang penghasilan kena pajak.Terkait dengan butir 2 di atas, terdapat 3 (tiga) pendekatan kapan suatu penghasilan derivatif dikenakan pajak atau kerugian derivatif diperkenankan sebagai pengurang penghasilan kena pajak, yaitu :Prinsip Realisasi (Realization Principle)Keuntungan atau kerugian dari transaksi derivatif dicatat pada saat terjadinya realisasi, dengan demikian pemajakan atas transaksi derivatif dilakukan pada saat penyelesaian transaksi atau saat berakhirnya masa kontrak transaksi derivatif.Prinsip Harga Pasar (Mark-to-market Principle)Transaksi derivatif akan dinilai berdasarkan harga pasar pada setiap akhir periode tahun buku. Sehingga, pemajakan dilakukan bersamaan dengan pengakuan penghasilan atau kerugian transaksi derivatif yang dilaporkan pada tahun buku tersebut.Prinsip Penyesuaian (Matching Principle)Pengakuan penghasilan atau kerugian dari transaksi derivatif disesuaikan dengan pengakuan penghasilan atau kerugian dari aset dasar (underlying asset) yang dilindungi nilai. Sesuai dengan prinsip ini, jika instrumen derivatif digunakan untuk memberikan lindung nilai maka pengakuan laba rugi derivatif tersebut menggunakan prinsip realisasi.Di Indonesia sesuai dengan Penjelasan Pasal 4 ayat 1 UU PPh ( Undang-undang No.17 Tahun 2000 Tentang Pajak Penghasilan) menyatakan bahwa Undang-undang ini menganut prinsip pemajakan atas penghasilan dalam pengertian luas yaitu :Pajak dikenakan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari manapun asalnya yang dapat dipergunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib PajakPengertian penghasilan dalam Undang-undang ini tidak memperhatikan adanya penghasilan dari sumber tertentu, tetapi pada tambahan kemampuan ekonomisTambahan kemampuan ekonomis tersebut diterima atau diperoleh Wajib Pajak merupakan ukuran terbaik mengenai kemampuan Wajib Pajak tersebutDilihat dari penggunaannya, penghasilan dapat dipakai untuk konsumsi dan dapat pula ditabung untuk menambah kekayaan Wajib Pajak.Semua jenis penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu tahun pajak digabungkan untuk mendapatkan dasar pengenaan pajakUU PPh tidak mengatur secara khusus mengenai perlakuan perpajakan atas penghasilan dari transaksi derivatif. Tetapi karena penghasilan dari transaksi derivatif memenuhi pengertian penghasilan sesuai Pasal 4 ayat 1 UU PPh, maka penghasilan dari transaksi derivatif dikenakan pajak penghasilan. Sedangkan saat pengakuan penghasilan dari transaksi derivatif adalah saat realisasi (realization principle)

PERATURAN PERPAJAKAN TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI TRANSAKSI DERIVATIF

Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-51/PJ.22/1986 Tentang PPh Atas Deposito Berjangka dalam Mata Uang Asing Milik Orang Pribadi dan PPh Atas Perjanjian SwapKenaikan nilai tukar deposito dalam mata uang asing pada Bank-bank milik orang pribadi di luar usaha atau pekerjaan bebasnya tidak dikenakan Pajak Penghasilan. Ketentuan mengenai tidak dikenakannya PPh atas kenaikan nilai deposito tersebut hanya berlaku, apabila deposito tersebut ditempatkan pada Bank-bank di Indonesia, baik Bank Asing maupun Bank Nasional.Apabila deposito ditempatkan di luar negeri, maka atas kenaikan nilai deposito tersebut terhutang PPh.Selisih nilai tukar lama dengan nilai tukar baru hutang yang masih harus dibayarkan dibukukan sebagai kerugian pada saat dilakukannya pembayaran kembali hutang tersebut. Sejalan dengan pelaksanaan ketentuan perpajakan terhadap hutang dalam mata uang asing, maka selisih nilai tukar kontrak swap yang telah jatuh tempo (telah direalisasikan) merupakan keuntungan yang dikenakan PPh.Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-12/PJ.313/1993 Tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Transaksi Forward Sales Valuta AsingYang dimaksud dengan transaksi "forward sales" valuta asing adalah transaksi jual/beli valuta asing yang penyerahan valutanya dilakukan dikemudian hari dengan nilai kurs valuta asing yang telah disepakati oleh penjual dan pembeli pada saat kontrak dibuat. Atas transaksi tersebut terdapat "premi" yang harus dibayarkan.Contohnya :Pada tanggal 1 Mei 1993, PT A menjual valuta asing dengan transaksi "forward sales" kepada Bank B sejumlah US$ 10,000.00 dengan kurs yang disepakati kedua belah pihak per 1 Mei 1993 (US$ 1= Rp. 2.070,-) dimana PT A baru akan menyerahkan valuta asing tersebut 1 (satu) tahun kemudian, yaitu tanggal 1 Mei 1994 dan Bank B juga baru akan menyerahkan sejumlah Rupiah (US$ 10,000 x Rp. 2.070,- = Rp. 20.700.000,-) 1 (satu) tahun kemudian, yaitu tanggal 1 Mei 1994. Atas transaksi tersebut PT A pada tanggal 1 Mei 1994 akan menerima suatu jumlah "premi" dari Bank B. Bank B dalam menghitung besarnya "premi" dimaksud didasarkan pada selisih/perbedaan suku bunga deposito Rupiah dan deposito US$(interest rates differential) yang berlaku selama periode kurun waktu kontrak transaksi "forward sales" tersebut.Sementara itu, dapat terjadi Bank (Devisa) menarik deposan dengan cara menggabungkan transaksi forward sales dengan penempatan deposito berjangka dalam valuta asingContoh :C pada tanggal 1 Mei 1993 membeli valuta asing sejumlah US$ 10,000 dari Bank D dan mendepositokan pada Bank D juga. C melakukan transaksi "forward sales" valuta asing US$ 10,000 kepada Bank D dengan kesepakatan bahwa Bank D pada tanggal 1 Mei 1994 akan membayar kepada C sebesar US$ 10,000 dalam bentuk rupiah yang dihitung dengan kurs yang berlaku pada tanggal 1 Mei 1993 (yakni US$ 10,000 x Rp. 2.070,- = Rp. 20.700.000,-) dan Bank D membayar sejumlah premi kepada C. Bank D memperhitungkan besarnya premi "forward sales" valuta asing tersebut berdasarkan selisih suku bunga deposito rupiah yang disepakati antara nasabah (C) dengan Bank D (contoh 15 %/tahun) dikurangi suku bunga deposito US$ yang berlaku pada Bank D (contoh 8 %/tahun), sehingga premi forward sales yang dibayarkan Bank D sebesar 15 %-8 % = 7 %/tahun. Berdasarkan konstruksi tersebut pada dasarnya premi transaksi "forward sales" valuta asing dalam rangka penempatan deposito berjangka valuta asing adalah bagian dari bunga deposito berjangka.Dengan demikian, maka perlakuan Pajak Penghasilan atas penghasilan berupa premi forward sales valuta asing tersebut adalah sebagai berikut :Premi forward sales valuta asing seperti yang dimaksud pada butir a adalah obyek Pajak Penghasilan bagi pihak yang menerima atau memperolehnyaPenghitungan dan pelunasan PPh atas penghasilan berupa premi tersebut dilakukan oleh Wajib Pajak melalui sistem self assessment yaitu dengan menjumlahkan penghasilan berupa premi tersebut dengan penghasilan lainnya dalam SPT Tahunan PPh untuk tahun pajak yang bersangkutan dengan tarif sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 17 UU PPhPremi "forward sales" valuta asing yang merupakan satu paket dengan penempatan deposito berjangka oleh nasabah yang sama pada Bank yang sama, yaitu seperti contoh pada butir b, adalah obyek Pajak Penghasilan dan termasuk dalam pengertian bunga deposito berjangka. Pengenaan Pajak Penghasilannya diperlakukan sama dengan Pajak Penghasilan atas bunga deposito berjangka sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 1991, Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 1287/KMK.04/1991, tanggal 31 Desember 1991 dan penegasan dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-02/PJ.43/1992 tanggal 6 Januari 1992, yaitu :Dipotong PPh sebesar 15% (lima belas persen) yang bersifat final, dalam hal premi forward sales tersebut dibayarkan kepada WP dalam negeri perseorangan atau WP dalam negeri yang berbentuk organisasi yang semata-mata melakukan kegiatan di bidang keagamaan, sosial, politik, korpri, organisasi pegawai negeri sipil dan ABRI serta organisasi serikat pekerjaDipotong PPh Pasal 23 sebesar 15% (lima belas persen) dan tidak bersifat final, dalam hal premi forward sales tersebut dibayarkan kepada WP dalam negeri badan selain organisasi tersebut di atas.Dipotong PPh Pasal 26 sebesar 20% (dua puluh persen) atau sesuai tarif yang ditetapkan dalam Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dalam hal premi forward sales tersebut dibayarkan kepada WP luar negeri.Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor S-245/PJ.101/1997 Tentang Penegasan Pemotongan PPh Pasal 26 Atas Transaksi SwapSesuai dengan UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 10 Tahun 1994, pada prinsipnya pemotongan pajak atas bunga diatur sebagai berikut :15% dikenakan terhadap bunga yang dibayarkan kepada penduduk Indonesia selain bank20% atau tarif sesuai dengan tax treaty yang berlaku, dikenakan terhadap WP luar negeriTransaksi swap sehubungan dengan interest rate swap biasanya diikuti dengan pembayaran premi swap. Berdasarkan UU PPh 1984, premi swap sehubungan dengan currency swap adalah merupakan obyek pemotongan PPh Pasal 26 sesuai dengan Pasal 26 ayat 1 huruf d UU Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 10 Tahun 1994. Dengan demikian atas pembayaran premi swap sehubungan dengan currency swap tersebut harus dipotong PPh Pasal 26.Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-03/PJ.43/1998 Tentang Perlakuan Perpajakan Penghasilan Bunga (Bunga Deposito) Terhadap Premi Swap dan ForwardMekanisme deposito dengan fasilitas swap atau forward umumnya adalah :Nasabah memasukkan dana deposito dalam bentuk RupiahBank membeli valuta asing dengan menggunakan dana Rupiah tersebut dan menempatkannya dalam deposito berjangka valuta asing dengan tingkat bunga yang relatif rendah.Bersamaan dengan itu, pihak Bank melakukan perjanjian swap atau forward antara dana Rupiah tersebut dengan valuta asing dalam jangka waktu yang sama dengan jangka waktu penempatan deposito nasabah yang bersangkutan.Pada waktu jatuh tempo deposito, Bank membayar bunga deposito valuta asing yang relatif rendah tersebut ditambah dengan suatu jumlah pembayaran yang biasanya disebut premiumSelama ini Bank memungut Pajak Penghasilan hanya atas bunga deposito saja dan tidak termasuk premium yang diterima oleh nasabah.Definisi swap dan forward sesuai dengan ketentuan Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 30/89/KEP/DIR tanggal 16 Oktober 1997 :Swap adalah transaksi pertukaran dua valuta melalui pembelian tunai dengan penjualan kembali secara berjangka, dan penjualan tunai dengan pembelian kembali secara berjangka.Forward adalah transaksi pembelian atau penjualan devisa yang penyerahannya dilakukan dalam jangka waktu lebih dari dua hari kerja setelah tanggal transaksi.Dalam pengertian bunga yang dikenakan Pajak Penghasilan atas bunga sesuai dengan Peraturan Pemerintah No.51 Tahun 1994 adalah segala jenis premi sehubungan dengan perjanjian swap atau forward termasuk premi atas perjanjian swap atau forward dalam bentuk deposito yang semula ditempatkan dalam mata uang Rupiah kemudian dikonversikan ke dalam mata uang asing.Contoh :Seorang nasabah menempatkan deposito dalam mata uang Rupiah yang segera oleh bank dikonversikan ke deposito dalam mata uang asing. Pada akhir masa deposito, mata uang asing tersebut oleh bank dikonversikan kembali ke dalam mata uang Rupiah. Nasabah akan menerima dalam mata uang Rupiah selain pokok depositonya juga bunga dan premi. Premi yang diterima oleh nasabah tersebut termasuk dalam pengertian bunga deposito yang harus dipotong PPh Final 15% atas penghasilan dari bunga deposito.Dalam pengertian bunga di atas tidak termasukPremi swap yang dibayarkan sehubungan dengan pinjaman dalam valuta asing yang telah dilaporkan dan dikonfirmasikan oleh Bank Indonesia. Premi swap yang dibayarkan sehubungan dengan pinjaman valuta asing yang tidak/belum dilaporkan dan dikonfirmasi oleh Bank Indonesia dianggap sebagai penghasilan bunga dan merupakan obyek pemotongan PPh Pasal 23/Pasal 26Premi swap yang ditetapkan oleh Direksi Bank Indonesia melalui Keputusan Direksi Bank Indonesia No.30/89/KEP/DIR tanggal 16 Oktober 1997.Disamping itu perlu juga diberikan penegasan bahwa premi swap yang terkait dengan hutang valuta asing dapat dibiayakan sepanjang telah dilaporkan dan dikonfirmasi oleh Bank Indonesia.Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-13/PJ.43/1999 Tentang Perlakuan Perpajakan Atas Stock OptionYang dimaksud dengan stock option dalam Surat Edaran ini adalah janji atau penawaran yang diberikan oleh suatu perusahaan di luar negeri yang telah menjual sahamnya di bursa efek di luar negeri, kepada karyawan atau orang pribadi kalangan terbatas dari suatu perusahaan di Indonesia yang mempunyai hubungan istimewa dengan perusahaan di luar negeri tersebut, untuk membeli sahamnya dengan harga tertentu dan dalam jangka waktu tertentu pula. Penawaran tersebut akan dicabut kembali setelah melewati jangka waktu yang ditentukan tersebut.Apabila karyawan menggunakan hak-nya atas penawaran tersebut dan kemudian terjadi kenaikan harga atas saham itu, maka karyawan yang bersangkutan dapat memilih dua kemungkinan :Menjual kembali saham tersebut pada saat itu atauMenyimpan saham tersebut sebagai investasi untuk dijual kembali di masa mendatang untuk mendapatkan keuntungan (capital gain) yang lebih besar.Selisih antara harga pasar dengan harga tertentu yang lebih rendah dari harga pasar adalah merupakan potongan harga perolehan saham. Adapun yang dimaksud dengan harga tertentu adalah harga jual saham yang ditawarkan oleh suatu perusahaan di luar negeri kepada karyawan atau orang pribadi kalangan terbatas dari suatu perusahaan di Indonesia yang mempunyai hubungan istimewa dengan perusahaan di luar negeri tersebut.Penghasilan yang dapat diperoleh pemegang saham dapat berupa dividen dan/atau capital gain. Apabila saham tersebut dijual dengan harga yang lebih tinggi daripada harga perolehan, maka selisih antara harga jual dengan harga perolehan saham tersebut merupakan penghasilan (capital gain) yang terhutang Pajak Penghasilan.

ILUSTRASI KASUS PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI TRANSAKSI DERIVATIF

Ilustrasi Kasus Stock OptionGambaran KasusPada tanggal 1 Januari 2001, Perusahaan memberi stock option kepada karyawannya di Indonesia untuk membeli saham perusahaan induk yang telah masuk bursa di luar negeri dalam jangka waktu sampai dengan 30 Juni 2001 (vesting period) pada harga tertentu. Karyawan menggunakan haknya atas stock option tersebut dan pada tanggal 30 September 2001 memutuskan untuk menjual sahamPerusahaan memberikan harga patokan sebesar US $ 40, dengan demikian karyawan dapat menggunakan haknya atas stock option untuk membeli saham perusahaan induk di luar negeri pada harga tersebut. Dalam hal harga pasar saham pada tanggal 30 Juni 2001 adalah US $ 60, karyawan akan memperoleh penghasilan spread sebesar US $ 20. Penghasilan spread ini merupakan kompensasi tambahan (dalam bentuk bonus) bagi karyawan dan merupakan obyek pemotongan PPh Pasal 21. Biaya yang ditanggung perusahaan untuk bonus tersebut juga merupakan pengurangan penghasilan bruto dalam penghitungan penghasilan kena pajak perusahaan karena merupakan bonus kena pajak bagi karyawan.Pada tanggal 30 September 2001, karyawan menjual saham pada harga US $ 70. Karyawan harus membayar pajak penghasilan atas laba sebesar US $ 10, yaitu selisih antara harga jual sebesar US $ 70 dan harga pasar (pada saat pembelian saham dengan menggunakan hak atas stock option) sebesar US $ 60. Harga pasar saham tersebut merupakan harga perolehan saham.PermasalahanAtas spread antara harga patokan dan harga pasar yang berlaku pada saat penggunaan hak atas stock option sebesar US $ 20 diperlakukan sebagai bonus sehingga merupakan obyek PPh Pasal 21 atau PPh Pasal 26Atas pembayaran bonus tersebut merupakan pengurang penghasilan bruto dalam perhitungan penghasilan kena pajak perusahaan pada tahun hak atas stock option tersebut digunakan karyawanApabila karyawan menjual saham tersebut dengan harga US $ 70, maka keuntungan karyawan dari transaksi tersebut adalah US $ 10, yaitu selisih antara harga jual sebesar US $ 70 dan harga perolehan sebesar US $ 60.Penyelesaian KasusPada saat opsi (hak kepada karyawan untuk dapat membeli saham perusahaan dalam periode waktu dan harga tertentu dalam rangka stock option) diberikan belum merupakan penghasilan bagi karyawan yang memperoleh opsi tersebut (sesuai dengan prinsip realisasi, belum ada realisasi penghasilan dan belum ada tambahan kemampuan ekonomis sesuai dengan Pasal 4 ayat 1 UU PPh) dan belum merupakan biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan, karena pelaksanaan opsi ini masih tergantung pada keputusan karyawan di kemudian hari apakah akan menggunakan opsi tersebut atau tidak.Konsekuensi perpajakan timbul pada saat karyawan menggunakan haknya untuk membeli opsi dengan harga patokan (US $ 40). Bagi perusahaan,selisih lebih nilai pasar (US $ 60) dengan harga patokan/pelaksanaan yang harus dibayar oleh karyawan (US $ 40) merupakan kompensasi jasa karyawan yang dapat dikurangkan dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak (sesuai dengan Pasal 6 ayat 1 UU PPh). Sedangkan bagi karyawan selisih US $ 20 merupakan penghasilan (karena memenuhi definisi penghasilan sesuai dengan Pasal 4 ayat 1 UU PPh yaitu ada tambahan kemampuan ekonomis) yang wajib dipotong PPh Pasal 21. Hal ini sesuai dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-13/PJ.43/1999 tentang Perlakuan Perpajakan atas Stock Option.Berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-13/PJ.43/1999 tentang Perlakuan Perpajakan atas Stock Option, apabila karyawan yang bersangkutan kemudian menjual atau mengalihkannya kepada pihak lain (dalam hal opsi tersebut bersifat transferable) selisih antara harga jual atau penggantian yang diterima (US $ 70) dengan harga wajar pada masa pelaksanaan (US $ 60) merupakan penghasilan yang dikenakan pajak berdasarkan ketentuan umum UU PPh dan harus dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadi karyawan yang bersangkutan.Ilustrasi Kasus Cross Currency Interest Rate SwapGambaran KasusPT ABC adalah perusahaan di bidang pengelolaan jalan bebas hambatan (tol). Sejak tahun 1995, PT ABC mengalami kesulitan arus kas dan karena itu PT ABC melakukan transaksi derivatif berupa cross currency interest rate swap. Transaksi derivatif tersebut dilakukan semata-mata berdasarkan keputusan bisnis untuk mempertahankan kelangsungan operasional perusahaan. Pada tahun 1997 dan 1998 transaksi derivatif tersebut mengalami kerugian karena menurunnya nilai tukar Rupiah terhadap mata uang asing, karenanya PT ABC melakukan pembebanan kerugian dari transaksi derivatif tersebut sebagai pengurang penghasilan bruto dalam SPT Tahunan PPh Badan.Pada tahun 1998 dilakukan pemeriksaan pajak terhadap PT ABC. Pemeriksa yang bersangkutan tidak mengakui kerugian transaksi derivatif tersebut dengan alasan bahwa transaksi derivatif tidak dilakukan dalam rangka kegiatan usahanya dan tidak sesuai dengan SE-46/PJ.4/1995PermasalahanBagaimana perlakuan Pajak Penghasilan atas kerugian selisih kurs sehubungan dengan transaksi derivatif yang dilakukan PT ABC, apakah dapat dibebankan sebagai pengurang penghasilan bruto ?Penyelesaian KasusPasal 4 ayat 1 huruf a dan l UU PPhYang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk antara lain: bunga, keuntungan karena selisih kurs mata uang asing.Pasal 6 ayat 1 huruf a dan e UU PPhBesarnya Penghasilan Kena Pajak bagi WP dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi antara lain biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan termasuk antara lain biaya bunga, kerugian dari selisih kurs mata uang asing.Pasal 26 ayat 1 huruf b UU PPhAtas penghasilan berupa bunga, termasuk premium, diskonto, premi swap dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian hutang, yang dibayarkan atau terhutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia, dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkanSwap adalah suatu perjanjian antara dua pihak untuk saling mempertukarkan serangkaian pembayaran (cash flows) dalam periode waktu tertentu (beberapa tahun) berdasarkan nilai tukar (swap rate) tertentu, untuk tujuan mengurangi/ membatasi risiko keuangan.Cross currency interest rate swap adalah swap antara pembayaran bunga tetap (fixed rate) dalam satu mata uang tertentu dengan pembayaran bunga mengambang (floating rate) dalam mata uang tertentu yang lain/berbeda, untuk tujuan mengurangi/membatasi risiko perubahan suku bunga pinjaman yang dijadikan acuan transaksi derivatif (underlying transaction). Bunga swap bukan merupakan bunga pinjaman, karena dalam transaksi swap tidak terdapat pertukaran pinjaman.Pada prinsipnya ada sejumlah elemen yang harus disepakati oleh kedua belah pihak yang mengadakan cross currency interest rate swap yaitu :Periode atau jangka waktu perjanjianDua jenis mata uang (salah satunya pada umumnya US Dollar) yang dipertukarkanJumlah principal (national principal amount) dari masing-masing mata uang dan nilai tukarnya (pada umumnya berdasarkan spot rate pada tanggal awal perjanjian) danDasar pertukaran pembayaran bunga (fixed rate atau floating rate)Berdasarkan ketentuan dan hal-hal tersebut di atas, maka :Selisih lebih pertukaran bunga swap yang diterima (cash flow in) oleh PT ABC dari transaksi cross currency interest rate swap merupakan obyek pajak sedang apabila terjadi selisih lebih pertukaran bunga swap yang dibayar (cash flow out) tidak dapat dibebankan sebagai biaya atau kerugian fiskal, karena tujuan transaksi swap tersebut yang dapat diakui oleh fiskus adalah sepanjang mengurangi/membatasi risiko kerugian dari perubahan suku bunga pinjaman perusahaan. Perlakuan terhadap selisih kurs yang melekat pada bunga swap tersebut adalah sama.Terhadap jumlah principal (national principal amount) dari transaksi cross currency interest rate swap tidak terdapat konsekuensi pajak, karena tidak ada pertukaran jumlah principal dan jumlah tersebut bukan merupakan angka aktual melainkan hanya sebagai dasar perhitungan pembayaran bunga swap.Terhadap bunga pinjaman perusahaan serta selisih kurs yang melekat pada bunga dan pokok pinjaman tersebut yang menjadi acuan transaksi cross currency interest rate swap (sebagai underlying transaction), perlakuan pajaknya sesuai ketentuan umum yang berlaku.Atas pembayaran bunga swap kepada pihak (counterpart atau bank) di luar negeri wajib dipotong PPh Pasal 26 sebesar 20% atau sesuai dengan ketentuan tax treaty yang berlaku.

KESIMPULAN

Instrumen derivatif seperti futures, forward, option dan swap terutama digunakan untuk tujuan lindung nilai sehingga akan mengurangi risiko.Undang-undang Pajak Penghasilan di Indonesia tidak mengatur secara khusus perlakuan perpajakan atas penghasilan dari transaksi derivatifKebijakan fiskal Indonesia mengenai instrumen derivatif adalah berkenaan dengan tujuan pengenaan pajak penghasilan atas keuntungan dari transaksi-transaksi derivatif yang merupakan obyek pajak bagi Wajib Pajak yang bersangkutanPengakuan penghasilan dari transaksi derivatif menurut Undang-undang Pajak Penghasilan adalah pada saat realisasinya (realization principle)Tidak ada ketentuan dalam peraturan perpajakan yang mengatur tentang perlakuan perpajakan atas kerugian yang timbul dari transaksi derivatif tersebut.

Tax and Transfer Pricing

IDENTIFIKASI DAN PERLAKUAN PERPAJAKAN ATAS TRANSAKSI TRANSFER PRICING


PENDAHULUAN
Perkembangan yang pesat dari ilmu pengetahuan khususnya perkembangan teknologi informasi berupa makin luasnya pemakaian internet, telah banyak mengubah kehidupan masyarakat dunia. Transaksi internasional yang mencakup barang, jasa dan modal cenderung berorientasi global, dimana batas-batas suatu negara semakin kabur dan dengan sarana internet perdagangan dapat berlangsung tanpa batas. Hal ini membuat arus barang, jasa maupun modal akan masuk dan atau keluar dari suatu Negara tanpa hambatan. Kegiatan perdagangan lintas Negara membuat pertumbuhan perusahaan multinasional makin pesat. Perusahaan multinasional tersebut, di luar negara tempat kedudukannya mengoperasikan cabang atau anak perusahaan. Pendirian anak perusahaan di berbagai negara merupakan strategi bisnis perusahaan untuk memenangkan persaingan seperti mempertahankan dan mengembangkan pangsa pasar, menguasai sumber-sumber daya yang relatif terbatas. Dalam perusahaan multinasional tersebut, hampir sebagian besar transaksi dan aktivitas ekonomi terjadi antar mereka, seperti transaksi penjualan, pembelian bahan baku, pemberian jasa, penggunaan hak kekayaan intelektual, pemberian pinjaman dan sebagainya.
Keberhasilan operasi-operasi bisnis di luar negeri sangat berkaitan dengan kemampuan untuk beradaptasi dengan faktor-faktor lingkungan yang sangat banyak jumlahnya. Salah satu mekanisme yang digunakan oleh perusahaan multinasional untuk beradaptasi adalah teknik pricing atas sumber daya, jasa dan teknologi yang ditransfer dari satu perusahaan anak ke perusahaan anak yang lain dalam sistem multinasional. Transfer pricing bervariasi dari suatu perusahaan ke perusahaan lain, industri ke industri dan negara ke negara. Transfer pricing dapat mempengaruhi hubungan-hubungan sosial, ekonomi, dan politik dalam entitas-entitas bisnis multinasional. Transaksi-transaksi yang terjadi antar negara juga mengakibatkan perusahaan-perusahaan multinasional menerima banyak pengaruh dari lingkungan yang menciptakan sekaligus mengurangi kesempatan-kesempatan untuk meningkatkan laba perusahaan melalui penyesuaian-penyesuaian harga internal. Faktor-faktor seperti perbedaan tarif pajak, tarif impor, persaingan, laju inflasi, nilai valuta asing, resiko-resiko politik, kepentingan-kepentingan mitra usaha patungan membuat keputusan-keputusan transfer pricing semakin rumit. Dan pada akhirnya keputusan tentang transfer pricing umumnya menimbulkan trade-off yang kadang-kadang tidak terduga dan mungkin jarang bisa dijelaskan.
Sebagaimana disebutkan di atas, salah satu faktor yang membuat keputusan transfer pricing semakin rumit adalah perbedaan tarif pajak antar negara. Transfer pricing dapat membuat potensi penerimaan pajak suatu negara berkurang atau hilang. Perusahaan multinasional memiliki kecenderungan untuk menggeser kewajiban perpajakannya dari negara-negara yang memiliki tarif pajak yang tinggi ke negara-negara yang menetapkan tarif pajak rendah. Sehingga dengan demikian terjadi pergeseran dasar pengenaan pajak dari satu negara ke negara lainnya. Hal inilah yang membuat masalah transfer pricing menjadi masalah internasional karena banyak negara yang memiliki kepentingan, terutama bagi negara berkembang seperti Indonesia yang dalam transaksi yang mengandung transfer pricing menjadi negara sumber penghasilan.Transfer pricing dapat menimbulkan distorsi penerimaan negara.


DEFINISI DAN METODE TRANSFER PRICING
Beberapa definisi mengenai transfer pricing atau transfer price yang diutarakan beberapa ahli antara lain adalah :
Menurut Tsurumi dalam Gunadi ( 1997 ), dalam suatu grup perusahaan, transfer pricing merupakan harga yang diperhitungkan untuk pengendalian manajemen (management control ) atas transfer barang dan jasa dalam satu grup perusahaan.
Menurut Charles T.Horngren, George Foster dan Srikant Datar dalam Akuntansi Biaya, harga transfer merupakan harga yang dikenakan oleh satu subunit (segmen, departemen, divisi dan sebagainya ) untuk produk atau jasa yang dipasok ke subunit lain dalam organisasi yang sama.
Menurut Ralph Estes dalam Kamus Akuntansi, harga transfer adalah suatu harga internal yang dibebankan oleh satu unit ( seperti divisi, perusahaan anak, atau departemen ) dari suatu perusahaan pada unit lainnya dalam perusahaan yang sama.
Menurut Don R.Hansen dan Maryanne M.Moven dalam Management Accounting, harga transfer adalah harga yang ditagihkan untuk barang yang ditransfer dari satu divisi ke divisi lainnya.
Menurut Sophar Lumbantoruan, harga transfer adalah penentuan harga atau balas jasa atas suatu transaksi antar unit dalam satu perusahaan atau antar perusahaan dalam satu grup.
Dari berbagai definisi di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa pada prinsipnya transfer pricing adalah suatu metode penentuan harga antar perusahaan dalam satu grup yang sama.
Menurut Charles T.Horngren, George Foster dan Srikant Datar, ada tiga metode umum untuk menentukan harga transfer yaitu
Harga transfer berdasarkan pasar
Perusahaan dapat memilih untuk menggunakan harga dari produk atau jasa sejenis yang tercantum dalam, katakanlah jurnal perdagangan. Perusahaan juga dapat memilih harga internalnya sama dengan harga eksternal yang dikenakan terhadap konsumen luar.
Harga transfer berdasarkan biaya
Contoh-contoh meliputi biaya variabel produksi, biaya produksi penuh dan biaya produk penuh. Biaya produksi penuh meliputi semua biaya produksi termasuk biaya dari fungsi usaha ( riset dan pengembangan, desain, pemasaran, distribusi, dan pelayanan konsumen ). Biaya-biaya tersebut dapat merupakan biaya aktual maupun biaya yang dianggarkan.
Harga transfer hasil negosiasi
Dalam beberapa kasus, subunit perusahaan bebas untuk menegosiasikan harga transfer antar mereka. Subunit dapat menggunakan informasi mengenai biaya dan harga pasar dalam negosiasi, tetapi tidak ada persyaratan bahwa harga transfer yang dipilih harus mempunyai hubungan tertentu ke biaya atau harga pasar. Harga transfer hasil negosiasi tersebut sering digunakan ketika harga transfer berfluktuasi dan terus berubah. Harga transfer hasil negosiasi merupakan hasil dari proses tawar-menawar antara divisi penjual dan divisi pembeli.
Sedangkan menurut Don R.Hansen dan Maryanne M.Moven, tiga metode yang lazim digunakan dalam penetapan harga transfer adalah :
Harga transfer berdasarkan harga pasar
Apabila terdapat pasar luar dengan persaingan sempurna untuk produk yang ditransfer, maka harga transfer yang sesuai adalah harga pasar. Dengan harga pasar tidak ada divisi yang memperoleh manfaat di atas beban divisi lain. Dalam hal ini, harga pasar mencerminkan biaya kesempatan ( opportunity cost) divisi penjual dan divisi pembeli
Harga transfer yang dinegosiasikan
Dalam banyak kasus, pembeli atau penjual mampu mempengaruhi harga sampai derajat tertentu ( sebagai contoh melalui jumlah yang besar atau melalui penjualan produk yang erat kaitannya tetapi berbeda, atau melalui penjualan produk yang unik ). Apabila tidak terdapat pasar dengan persaingan sempurna, harga transfer yang dinegosiasikan adalah pilihan yang baik. Dalam hal ini, biaya kesempatan divisi penjual dan divisi pembeli berbeda, dan mereka menetapkan harga batas atas dan batas bawah untuk harga transfer. Harga transfer yang dinegosiasi menawarkan harapan untuk melengkapi ketiga kriteria kesesuaian tujuan, otonomi dan akurasi evaluasi kinerja.
Harga transfer berdasarkan biaya
Penggunaan harga transfer berdasarkan biaya tidak lazim direkomendasikan, tetapi, apabila transfer menimbulkan dampak yang kecil terhadap profitabilitas kedua divisi, pendekatan ini dapat diterima. Perusahaan yang menggunakan penetapan harga transfer berdasarkan biaya mensyaratkan bahwa seluruh transfer berlangsung pada suatu bentuk biaya. Tiga bentuk dari penetapan harga transfer berdasarkan biaya yang akan dipertimbangkan adalah :
Full cost
Full cost meliputi direct materials, direct labor, variable overhead dan bagian dari fixed overhead. Penetapan harga transfer full cost dapat merusak insentif dan mengganggu ukuran-ukuran kinerja dan akan menutup kemungkinan pemberlakuan harga transfer yang dinegosiasikan.
Full cost plus markup
Rumusan full cost plus markup mungkin dapat digunakan untuk menggambarkan harga transfer yang dinegosiasi. Dalam beberapa kasus, suatu rumusan full cost plus markup mungkin menjadi hasil dari negosiasi, bila demikian, cara ini hanyalah sebuah contoh lain dari penetapan harga transfer yang dinegosiasi. Tetapi, penggunaan full cost plus markup untuk mewakili semua harga negosiasi adalah tidak mungkin.
Variable cost plus fixed fee
Seperti full cost plus markup, variable cost plus fixed fee merupakan pendekatan yang dapat digunakan dalam penetapan harga transfer, dengan tingkat fixed fee dapat dinegosiasikan. Metode ini memiliki satu keunggulan dibandingkan full cost plus markup yaitu apabila divisi penjual sedang beroperasi di bawah kapasitas, maka variable cost adalah opportunity cost-nya. Dengan mengasumsikan bahwa fixed fee dapat dinegosiasikan, pendekatan variable cost adalah sama dengan penetapan harga transfer yang dinegosiasi.

PERATURAN PERPAJAKAN TENTANG HUBUNGAN ISTIMEWA DAN TRANSFER PRICING
Pasal 10 ayat 1 Undang-undang No.17 Tahun 2000 Tentang Pajak Penghasilan
Pasal 10 ayat 1 berbunyi :
Harga perolehan atau harga penjualan dalam hal terjadi jual beli harta yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) adalah jumlah yang sesungguhnya dikeluarkan atau diterima, sedangkan apabila terdapat hubungan istimewa adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima.
Penjelasan :
Pada umumnya dalam jual beli harta, harga perolehan harta bagi pihak pembeli adalah harga yang sesungguhnya dibayar dan harga penjualan bagi pihak penjual adalah harga yang sesungguhnya diterima. Termasuk dalam harga perolehan adalah harga beli dan biaya yang dikeluarkan dalam rangka memperoleh harta tersebut, seperti bea masuk, biaya pengangkutan dan biaya pemasangan.
Dalam hal jual beli yang dipengaruhi hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4), maka bagi pihak pembeli nilai perolehannya adalah jumlah yang seharusnya dibayar dan bagi pihak penjual nilai penjualannya adalah jumlah yang seharusnya diterima. Adanya hubungan istimewa antara pembeli dan penjual dapat menyebabkan harga perolehan menjadi lebih besar atau lebih kecil dibandingkan dengan jika jual beli tersebut tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa. Oleh karena itu dalam ketentuan ini diatur bahwa nilai perolehan atau nilai penjualan harta bagi pihak-pihak yang bersangkutan adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau yang seharusnya diterima
Pasal 18 ayat 3 Undang-undang No.17 Tahun 2000 Tentang Pajak Penghasilan
Pasal 18 ayat 3 berbunyi :
Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa.
Penjelasan :
Maksud diadakannya ketentuan ini adalah untuk mencegah terjadinya penghindaran pajak, yang dapat terjadi karena adanya hubungan istimewa. Apabila terdapat hubungan istimewa, kemungkinan dapat terjadi penghasilan dilaporkan kurang dari semestinya ataupun pembebanan biaya melebihi dari yang seharusnya. Dalam hal demikian, Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan atau biaya sesuai dengan keadaan seandainya di antara para Wajib Pajak tersebut tidak terdapat hubungan istimewa. Dalam menentukan kembali jumlah penghasilan dan atau biaya tersebut dapat dipakai beberapa pendekatan, misalnya data pembanding, alokasi laba berdasar fungsi atau peran serta dari Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dan indikasi serta data lainnya.
Demikian pula kemungkinan terdapat penyertaan modal secara terselubung dengan menyatakan penyetoran modal tersebut sebagai utang, maka Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan utang tersebut sebagai modal perusahaan. Penentuan tersebut dapat dilakukan misalnya melalui indikasi mengenai perbandingan antara modal dengan utang yang lazim terjadi antara para pihak yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa atau berdasar data atau indikasi lainnya.
Dengan demikian bunga yang dibayarkan sehubungan dengan utang yang dianggap sebagai penyertaan modal itu tidak diperbolehkan untuk dikurangkan, sedangkan bagi pemegang saham yang menerima atau memperolehnya dianggap sebagai dividen yang dikenakan pajak
Pasal 18 ayat 3A Undang-undang No.17 Tahun 2000 Tentang Pajak Penghasilan
Pasal 18 ayat 3A berbunyi :
Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan perjanjian dengan Wajib Pajak dan bekerja sama dengan pihak otoritas pajak negara lain untuk menentukan harga transaksi antar pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), yang berlaku selama suatu periode tertentu dan mengawasi pelaksanaannya serta melakukan renegosiasi setelah periode tertentu tersebut berakhir.
Penjelasan :
Kesepakatan harga transfer ( Advance Pricing Agreement/APA ) adalah kesepakatan antara Wajib Pajak dengan Direktur Jenderal Pajak mengenai harga jual wajar produk yang dihasilkannya kepada pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa (related parties ) dengannya. Tujuan diadakannya APA adalah untuk mengurangi terjadinya praktik penyalahgunaan transfer pricing oleh perusahaan multinasional. Persetujuan antara Wajib Pajak dengan Direktur Jenderal Pajak tersebut dapat mencakup beberapa hal antara lain harga jual produk yang dihasilkan, jumlah royalti dan lain-lain, tergantung pada kesepakatan.
APA dapat bersifat unilateral, yaitu merupakan kesepakatan antara Direktur Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak atau bilateral, yaitu kesepakatan antara Direktur Jenderal Pajak dengan otoritas perpajakan negara lain yang menyangkut Wajib Pajak yang berada di wilayah yurisdiksinya.
Pasal 18 ayat 4 Undang-undang No.17 Tahun 2000 Tentang Pajak Penghasilan
Pasal 18 ayat 4 berbunyi :
Hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (3a), Pasal 8 ayat (4), Pasal 9 ayat (1) huruf f, dan Pasal 10 ayat (1) dianggap ada apabila :
Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah 25% ( dua puluh lima persen ) pada Wajib Pajak lain, atau hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada dua Wajib Pajak atau lebih, demikian pula hubungan antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir; atau
Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung; atau
Terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus dan atau ke samping satu derajat.
Penjelasan :
Hubungan istimewa di antara Wajib Pajak dapat terjadi karena ketergantungan atau keterikatan satu dengan yang lain yang disebabkan karena :
kepemilikan atau penyertaan modal;
adanya penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi
Selain karena hal-hal tersebut di atas, hubungan istimewa di antara Wajib Pajak orang pribadi dapat pula terjadi karena adanya hubungan darah atau karena perkawinan
Pasal 2 ayat 1 Undang-undang No.18 Tahun 2000 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Barang Mewah
Pasal 2 ayat 1 berbunyi :
Dalam hal Harga Jual atau Penggantian dipengaruhi oleh hubungan istimewa, maka Harga Jual atau Penggantian dihitung atas dasar harga pasar wajar pada saat penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak itu dilakukan.
Penjelasan :
Pengaruh hubungan istimewa seperti dimaksud dalam Undang-undang ini ialah adanya kemungkinan harga yang ditekan lebih rendah dari harga pasar. Dalam hal ini, Direktur Jenderal Pajak mempunyai kewenangan melakukan penyesuaian Harga Jual atau Penggantian yang menjadi Dasar Pengenaan Pajak dengan harga pasar wajar yang berlaku di pasaran bebas.
Pasal 2 ayat 2 Undang-undang No.18 Tahun 2000 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Barang Mewah
Pasal 2 ayat 2 berbunyi :
Hubungan istimewa dianggap ada apabila :
Pengusaha mempunyai penyertaan langsung atau tidak langsung sebesar 25% (dua puluh lima persen ) atau lebih pada Pengusaha lain, atau hubungan antara Pengusaha dengan penyertaan 25% ( dua puluh lima persen ) atau lebih pada dua Pengusaha atau lebih, demikian pula hubungan antara dua Pengusaha atau lebih yang disebut terakhir; atau
Pengusaha menguasai Pengusaha lainnya atau dua atau lebih Pengusaha berada di bawah penguasaan Pengusaha yang sama baik langsung maupun tidak langsung atau
Terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus satu derajat dan/atau ke samping satu derajat.
Penjelasan :
Hubungan istimewa antara Pengusaha Kena Pajak dengan pihak yang menerima penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dapat terjadi karena ketergantungan atau keterikatan satu dengan yang lain yang disebabkan karena :
faktor kepemilikan atau penyertaan;
adanya penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi
Selain karena hal-hal tersebut di atas, hubungan istimewa di antara orang pribadi dapat pula terjadi karena adanya hubungan darah atau karena perkawinan.
Ketentuan dalam Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda ( P3B )
Sehubungan dengan masalah transfer pricing yang melibatkan banyak negara maka di P3B mengatur tentang hubungan istimewa, yaitu pada Pasal 9 UN Model. Pasal ini mengatur tentang perusahaan-perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa yaitu antara induk perusahaan yang berdomisili di salah satu negara dan anak perusahaan yang berdomisili di negara lainnya.
Pasal 9 UN Model berbunyi :
1. Apabila :
Suatu perusahaan dari satu Negara pihak pada persetujuan, baik secara langsung maupun tidak langsung turut serta dalam manajemen, pengawasan atau modal suatu perusahaan di Negara pihak persetujuan lainnya, atau
Orang atau badan yang sama, baik secara langsung maupun tidak langsung turut serta dalam manajemen, pengawasan atau modal suatu perusahaan dari suatu Negara pihak pada persetujuan dan suatu perusahaan dari Negara pihak pada persetujuan lainnya, dan dalam kedua hal itu antara kedua perusahaan dimaksud dalam hubungan dagangnya atau hubungan keuangannya diadakan atau diterapkan syarat-syarat yang menyimpang dari yang lazim berlaku antara perusahaan-perusahaan yang sama sekali bebas satu sama lain, sehingga laba yang timbul dinikmati oleh salah satu perusahaan yang apabila syarat-syarat itu tidak dapat dinikmati oleh perusahaan tersebut, dapat ditambahkan pada laba perusahaan itu dan dikenai pajak.
Apabila suatu negara pihak pada persetujuan mencakup laba satu perusahaan di Negara itu dan dikenai pajak laba yang telah dikenai pajak di Negara lainnya dan laba tersebut adalah laba yang memang seharusnya diperoleh perusahaan-perusahaan independen, maka Negara lain itu akan melakukan penyesuaian-penyesuaian atas jumlah laba yang dikenai pajak. Penyesuaian-penyesuaian itu harus memperhatikan ketentuan-ketentuan lain dalam persetujuan ini dan apabila dianggap perlu, pejabat-pejabat yang berwenang dari kedua Negara pihak pada persetujuan saling berkonsultasi.
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-04/PJ.7/1993 tanggal 9 Maret 1993 Tentang Petunjuk Penanganan Kasus-Kasus Transfer Pricing
Peraturan ini merupakan petunjuk bagaimana perlakuan perpajakan atas kasus transfer pricing, berisi contoh-contoh transaksi yang melibatkan pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa. Transaksi antar pihak tersebut dapat mengakibatkan kekurang wajaran harga, biaya atau imbalan lain yang direalisasikan dalam suatu transaksi usaha. Bentuk kekurang wajaran dapat terjadi atas penentuan :
Harga penjualan
Harga pembelian
Alokasi biaya administrasi dan umum ( overhead cost )
Pembebanan bunga atas pemberian pinjaman oleh pemegang saham ( share holder loan )
Pembayaran komisi, lisensi, franchise, sewa, royalti, imbalan atas jasa manajemen, imbalan atas jasa teknik dan imbalan atas jasa lainnya
Pembelian harta perusahaan oleh pemegang saham ( pemilik ) atau pihak yang mempunyai hubungan istimewa yang lebih rendah dari harga pasar
Penjualan kepada pihak luar negeri melalui pihak ketiga yang kurang/tidak mempunyai substansi usaha ( misalnya dummy company, letter box company atau reinvoicing center )


IDENTIFIKASI DAN PERLAKUAN PERPAJAKAN ATAS TRANSAKSI TRANSFER PRICING
Untuk menangani dan menyelesaikan transaksi transfer pricing yang melibatkan pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa , yang mungkin melibatkan otoritas pajak negara lain serta dalam rangka mengamankan penerimaan negara dari pajak maka otoritas pajak harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
Mengetahui motivasi perusahaan tersebut melakukan transfer pricing
Mengidentifikasi adanya rekayasa transfer pricing
Memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan prinsip arm’s length dalam menangani masalah transfer pricing
Metode-metode untuk menentukan arm’s length
Penerapan Advance Pricing Agreement
Menurut Gunadi, pada tahun 1985 telah dilakukan penelitian oleh tim UNTC dari PBB yang diketuai oleh DR.Silvain Plasschaert tentang transfer pricing di Indonesia. Hasil penelitian tersebut menyimpulkan ada beberapa motivasi transfer pricing di Indonesia yaitu :
pengurangan obyek pajak terutama pajak penghasilan
pelonggaran pengaruh pembatasan kepemilikan luar negeri
penurunan pengaruh depresiasi rupiah
menguatkan tuntutan kenaikan harga atau proteksi terhadap saingan impor
mempertahankan sikap low profile tanpa mempedulikan tingkat keuntungan usaha
mengamankan perusahaan dari tuntutan atas imbalan atau kesejahteraan karyawan dan kepedulian lingkungan ( ekologi dan masyarakat )
memperkecil akibat pembatasan, ketidakpastian atas resiko kegiatan perusahaan luar negeri
Penelitian tersebut membuktikan bahwa praktik transfer pricing dapat dipicu oleh motivasi pajak atau non pajak. Motivasi pajak atas transfer pricing dilakukan dengan merelokasi penghasilannya ( revenues ) ke negara-negara yang menerapkan tarif pajak yang relatif rendah ( low tax countries ) dan sebaliknya membebankan biaya-biaya usahanya lebih besar ke negara-negara yang menerapkan tarif pajak yang relatif tinggi (high tax countries ) sehingga perusahaan tersebut memperoleh penghematan pajak secara global. Perbedaan tarif pajak penghasilan antar negara seperti Indonesia 30%, Singapura 27%, Hongkong 18%, atau bahkan Bahama, Bermuda dan Cayman Islands yang tidak memiliki pajak sama sekali, makin mendorong perusahaan untuk melakukan transfer pricing. Manipulasi pajak lain yang dilakukan oleh perusahaan multinasional adalah mendirikan vehicle company atau letter box company di negara-negara yang termasuk tax haven countries. Negara seperti Cayman Islands, British Virgin Island dan Mauritius merupakan negara tax haven countries yang memberikan subsidi pajak berupa tarif pajak yang relatif rendah atau bahkan membebaskannya kepada para investor, menyediakan infrastruktur keuangan yang canggih (sophisticated financial infrastructures) dan jaminan kerahasiaan ( secrecy )
Strategi transfer pricing dengan memanfaatkan perbedaaan tarif pajak antar negara yang bertujuan untuk melakukan penghindaran pajak ( tax avoidance ) akan sangat merugikan negara-negara yang termasuk high tax countries karena negara-negara tersebut akan kehilangan potensi penerimaan pajak yang seharusnya diperoleh. Masalah transfer pricing akan makin parah apabila dimaksudkan untuk melakukan penggelapan pajak ( tax evasion ), untuk itu maka perusahaan multinasional yang melakukan penggelapan pajak dianggap melakukan tindakan kriminal di bidang perpajakan. Dari sisi hukum, penggelapan pajak karena transfer pricing telah menyimpang dari ketentuan perpajakan yang berlaku karena secara substansi negara seharusnya dapat memajaki perusahaan multinasional tersebut dalam jumlah yang lebih besar. Sehingga dengan demikian akan dikenai sanksi pidana perpajakan, untuk Indonesia sesuai dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 diatur dalam Pasal 39 bahwa perbuatan kriminal pajak akan dikenai sanksi pidana penjara paling lama 6 ( enam ) tahun dan denda paling tinggi 4 ( empat ) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar. Perbedaan antara penghindaran pajak dan penggelapan pajak sangat tipis dan dari sisi etika bisnis, praktik transfer pricing dapat menimbulkan moral hazard karena bertentangan dengan ketentuan yang berlaku.
Penanganan transfer pricing atas barang dagangan, teknologi, merek dan jasa antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa memang tidak mudah. Modus operandi semakin canggih seiring dengan perkembangan transaksi internasional dan era globalisasi. Di Indonesia transaksi-transaksi yang melibatkan perusahaan multinasional tidak lepas dari rekayasa transfer pricing, terutama oleh Wajib Pajak yang berbentuk Penanaman Modal Asing ( PMA ) maupun Bentuk Usaha Tetap ( permanent establishment ). Perusahaan PMA tersebut umumnya bergerak di bidang manufaktur dan mempunyai hubungan kepemilikan dengan perusahaan induk atau anak perusahaan lain di negara yang lain.
Perusahaan di Indonesia umumnya dijadikan cost center, dengan cara perusahaan di Indonesia membeli bahan baku dari perusahaan induk atau perusahaan anak lain yang berafiliasi dengan harga yang tinggi, ini akan makin sulit apabila bahan baku yang diimpor tidak mempunyai harga pembanding di pasar internasional. Kemudian bahan baku tersebut diolah menjadi barang setengah jadi yang nantinya diekspor kembali ke perusahaan induk atau perusahaan anak lainnya di negara lain dengan harga yang sama dengan biaya produksi atau bahkan lebih rendah dari biaya produksinya. Perusahaan di Indonesia juga dapat dijadikan tempat untuk memproduksi bahan baku yang hasilnya dipasarkan ke pasar lokal maupun ke negara ketiga.
Beberapa petunjuk yang dapat digunakan sebagai indikasi awal adanya rekayasa transfer pricing pada perusahaan di Indonesia adalah
Dalam laporan audit dapat diketahui bahwa sebagian besar transaksi baik pembelian maupun penjualan dilakukan dari dan ke perusahaan-perusahaan lain yang mempunyai hubungan istimewa ( related parties )
Dalam laporan audit juga dapat diketahui bahwa struktur modal, umumnya perusahaan di Indonesia lebih banyak mengandalkan pinjaman ( baik yang berasal dari sindikasi perbankan maupun perusahaan induknya ) daripada modal sendiri. Hal ini dikenal dengan thin capitalization ( debt-equity ratio )
Terjadi pembayaran royalti atau imbalan jasa baik jasa teknik maupun jasa manajemen dari perusahaan di Indonesia kepada perusahaan-perusahaan lain yang termasuk perusahaan related parties, walaupun perusahaan di Indonesia tersebut mengalami kerugian selama bertahun-tahun
Apabila perusahaan di Indonesia tersebut dalam operasi normal perusahaan menghasilkan laba maka akan terjadi pembayaran dividen dalam jumlah besar kepada para pemegang sahamnya.
Perusahaan tetap dapat beroperasi normal walaupun selama bertahun-tahun menderita kerugian, karena memang perusahaan di Indonesia di setting sebagai pusat biaya atau pusat penampungan kerugian. Hal ini dapat terlihat dari persentase Harga Pokok Penjualan yang tinggi terhadap Penjualan dan kecilnya Gross Profit.
Memanfaatkan celah pada peraturan tentang P3B yang dikenal dengan istilah treaty shopping. Treaty shopping adalah negara ketiga memanfaatkan suatu P3B dengan cara menggunakan penduduk dari salah satu negara pihak pada persetujuan yang berhak menikmati treaty protection. Transaksinya biasanya merupakan transaksi segitiga. Berkaitan dengan transfer pricing, treaty shopping dilakukan dengan melakukan rekayasa arus dana melalui negara mitra perjanjian untuk mendapatkan keringanan pajak.
Terdapat transaksi-transaksi yang melibatkan negara-negara tax haven countries.
Apabila salah satu perusahaan dalam satu grup menderita kerugian terus menerus tetapi secara keseluruhan perusahaan tersebut memperoleh laba maka patut dicurigai adanya praktek transfer pricing. Sebab perusahaan yang independen tidak mau perusahaannya menderita rugi berkepanjangan.
Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa transaksi transfer pricing melibatkan pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa maka harga yang terjadi tentu tidak bersifat arm’s length. Bagi perusahaan multinasional, transfer pricing merupakan salah satu alat untuk memobilisasi laba usaha agar tujuan perusahaan secara global dapat tercapai, sedangkan otoritas pajak tetap menginginkan agar transaksi yang melibatkan perusahaan-perusahaan dalam satu grup tetap bersifat arm’s length. Untuk keperluan ini, OECD telah mengeluarkan petunjuk untuk menangani masalah transfer pricing pada tahun 1995. Pada dasarnya OECD menerapkan prinsip arm’s length dalam menghadapi masalah transfer pricing karena prinsip ini membuat perusahaan-perusahaan dalam satu grup memiliki kondisi yang sama dengan perusahaan yang tidak memiliki hubungan istimewa.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan prinsip arm’s length adalah :
Analisa tentang transaksi yang bisa dibandingkan
Dasar menerapkan prinsip arm’s length adalah perbandingan transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa dengan transaksi antara pihak-pihak yang independen. Faktor penting dalam menilai apakah transaksi dapat dibandingkan adalah mempertimbangkan perbedaan-perbedaan ekonomis yang menjadi latar belakang timbulnya transaksi tersebut.
Pengakuan atas transaksi yang dilakukan
Otoritas pajak berkepentingan untuk menerima transaksi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa sebagaimana adanya. Karena apabila dilakukan koreksi terhadap transaksi tersebut, dapat terjadi double taxation karena negara lain belum tentu memiliki pendapat yang sama. Otoritas pajak dapat mengabaikan transaksi dalam hal :
Apabila substansi ekonomis dari transaksi tersebut berbeda dari formalitasnya
Substansi dan formalitasnya sama, tetapi secara keseluruhan transaksi tersebut berbeda dari transaksi yang terjadi antara pihak-pihak yang independen.
Evaluasi terhadap transaksi secara terpisah atau secara gabungan
Untuk memperoleh harga pasar yang wajar, prinsip arm’s length perlu diterapkan terhadap setiap transaksi. Transaksi dapat dilihat secara terpisah atau gabungan, mungkin ada transaksi kontrak dalam satu paket tetapi diperlakukan sebagai transaksi terpisah. Oleh karena itu, setiap bagian dari transaksi yang menjadi unsur paket tersebut perlu diteliti. Setelah transfer pricing untuk setiap bagian dari transaksi itu ditentukan, maka secara keseluruhan dapat dilihat apakah transaksi tersebut sudah arm’s length atau belum.
Penerapan arm’s length dalam suatu interval
Penggunaan metode-metode arm’s length menimbulkan angka yang berbeda, hal ini menunjukkan bahwa ada beberapa faktor yang berbeda yang mempengaruhi transaksi tersebut. Apabila terdapat interval angka dan deviasi dari angka-angka terlalu besar maka terdapat kemungkinan data yang dipakai tidak dapat dipercaya.
Penggunaan data yang berasal dari beberapa tahun
Otoritas pajak dapat menggunakan data Wajib Pajak yang meliputi data tahun terjadinya transaksi dan tahun-tahun sebelumnya untuk memperoleh fakta dan situasi yang lebih akurat yang mempengaruhi transaksi antara pihak yang mempunyai hubungan istimewa. Dengan demikian otoritas pajak mempunyai data pembanding atas transaksi tersebut. Di Indonesia hal ini telah diatur dalam Pasal 18 ayat 3 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 Tentang Pajak Penghasilan.
Kerugian yang diderita
Perusahaan yang mengalami kerugian tetapi secara keseluruhan grup perusahaan tersebut memperoleh laba, mungkin tidak mendapat kompensasi yang wajar dan ini perlu diteliti lebih lanjut karena mungkin terjadi transfer pricing.
Akibat kebijakan pemerintah
Dalam beberapa kasus, Wajib Pajak sering mengatakan hahwa harga barang harus disesuaikan dengan kebijakan pemerintah seperti pengendalian harga, pemberian subsidi di sektor tertentu, pengawasan devisa, dll. Oleh karena itu intervensi pemerintah tersebut harus diperlakukan sebagai kondisi pasar di negara tertentu.
Kompensasi yang disengaja
Dalam hal ini perusahaan-perusahaan dalam satu grup telah tahu bahwa transaksi telah diatur sehingga salah satu perusahaan memberikan manfaat tertentu kepada perusahaan lain dalam satu grup dan menerima manfaat dalam bentuk lain dari perusahaan lain tersebut.
Penggunaan patokan harga untuk keperluan bea masuk
Otoritas pajak dapat menggunakan patokan harga yang berasal dari data bea cukai untuk menilai apakah sudah sesuai dengan prinsip arm’s length. Dalam praktik, aparat bea cukai telah menggunakan prinsip arm’s length pada saat barang ditransfer, pada saat itu aparat bea cukai membandingkan harga barang yang diimpor oleh pihak yang mempunyai hubungan istimewa dengan barang yang diimpor oleh pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa.
OECD menyebutkan beberapa metode untuk menentukan arm’s length yaitu :


Comparable uncontrolled price method
Berdasarkan pendekatan ini, harga transfer ditetapkan dengan mengacu pada harga yang digunakan dalam transaksi-transaksi yang sebanding antara perusahaan-perusahaan independen atau antara korporasi dengan pihak ketiga yang tidak berhubungan.Walaupun metode ini mudah diaplikasikan dalam teori, tetapi tidak mudah dalam praktik. Perbedaan-perbedaan dalam kualitas, kuantitas,merek dagang, brand, dan level ekonomis dari pasar umumnya menyebabkan perbandingan antara harga untuk harga atau jasa antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa dan transaksi sejenis yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa secara langsung sangat sulit dilakukan.


Resale price method
Metode ini melihat harga transaksi antara pihak-pihak yang independen setelah terjadinya transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa, menyangkut barang yang sama. Harga tersebut dikurangi dengan gross margin (resale price margin) yang pantas yang merupakan jumlah yang ditetapkan oleh penjual untuk menutup kembali harga pokok berikut biaya operasi lainnya. Sisanya setelah dikurangi biaya-biaya yang berkaitan dengan pembelian barang tersebut, misalnya bea masuk, menghasilkan arm’s length price. Resale price margin dari transaksi antar perusahaan dalam satu grup dapat ditentukan dengan merujuk pada resale price margin yang diharapkan oleh penjual atas barang yang dibeli dan dijual berdasarkan transaksi yang sejenis yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa


Cost plus method
Penentuan arm’s length dimulai dengan besarnya jumlah yang dikeluarkan oleh pemasok harta atau jasa dalam transaksi yang dipengaruhi oleh hubungan istimewa. Kemudian jumlah tersebut ditambahkan suatu markup sehingga menunjukkan laba sesuai dengan keadaan pasar. Besarnya cost plus markup itu sebaiknya ditentukan dengan mengacu pada cost plus markup yang diperoleh pemasok yang sama atas transaksi sejenis yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa.

Profit split method
Metode ini mencari laba yang akan dibagi di antara mereka yang ada dalam satu grup dari transaksi yang dipengaruhi oleh hubungan istimewa. Kemudian laba tersebut dibagi di antara perusahaan-perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa tersebut dengan pertimbangan ekonomis sehingga pembagian itu kurang lebih mencerminkan laba seandainya transaksi itu tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa.


Transactional net margin method
Metode ini menetapkan margin laba bersih yang didasarkan atas perbandingan tertentu terhadap biaya, penjualan atau aktiva yang diperoleh Wajib Pajak. Karena itu, net margin dari Wajib Pajak yang dipengaruhi oleh hubungan istimewa seharusnya ditetapkan dengan mengacu pada net margin Wajib Pajak tersebut dalam transaksi yang sama tetapi yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa.
Kesepakatan harga transfer ( Advance Pricing Agreement/APA ) sebagai yang dimaksud dalam Pasal 18 ayat 3A Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah transfer pricing. APA umumnya dimulai dengan permintaan Wajib Pajak kepada otoritas pajak, kemudian Wajib Pajak mempresentasikan cara perhitungan harga biaya dengan memberikan semua data yang berkaitan dengan perhitungan tersebut. Pihak otoritas pajak kemudian melakukan semacam audit untuk memastikan bahwa perhitungan harga biaya tersebut dapat diterima. APA umumnya berlaku untuk suatu periode tertentu. Keuntungan dari APA selain memberikan kepastian hukum dan kemudahan penghitungan pajak, Fiskus tidak perlu melakukan koreksi atas harga jual dan keuntungan produk yang dijual Wajib Pajak kepada perusahaan dalam grup yang sama. Sehingga fiskus tidak perlu lagi melakukan penelitian apakah transaksi yang dipengaruhi hubungan istimewa sudah arm’s length atau belum.
Pasal 18 ayat 3 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 Tentang Pajak Penghasilan memberikan kewenangan kepada otoritas pajak Indonesia dalam hal ini Direktur Jenderal Pajak untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal. Penghitungan kembali ini hanya bertujuan menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak. Jumlah yang dihitung atau jumlah yang dikurangi harus sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa, sehingga dalam melakukan penghitungan kembali tidak dapat dilakukan secara sembarangan. Jadi sesuai dengan Pasal 18 ayat 3 maka penghitungan kembali hanya dapat dilakukan apabila terdapat hubungan istimewa antara pihak-pihak yang melakukan transaksi dan harga atas transaksi tersebut tidak sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha.
Sedangkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-04/PJ.7/1993 tanggal 9 Maret 1993 berisi panduan bagi aparat pajak untuk menangani transaksi transfer pricing atau yang mengandung indikasi adanya transfer pricing dan bagaimana perlakuan perpajakannya. Surat edaran ini memuat berbagai bentuk kekurang wajaran harga, biaya atau imbalan lain yang direalisasikan dalam suatu transaksi usaha. Dalam menyelesaikan kasus tersebut juga digunakan berbagai metode untuk menentukan arm’s length price sebagaimana metode-metode yang digunakan oleh OECD.
Bentuk kekurang wajaran harga, biaya atau imbalan lain yang direalisasikan dalam suatu transaksi usaha dalam Surat Edaran ini dan perlakuan perpajakannya adalah
Harga penjualan
Dalam penyelesaian kasus atas kekurang wajaran harga penjualan, maka untuk menentukan harga wajar dari transaksi penjualan ini, ketentuan ini menggunakan dua pendekatan yaitu
pendekatan transaksi melalui metode comparable uncontrolled price, dalam hal terdapat kesulitan untuk mendapatkan harga pasar sebanding untuk barang yang sejenis atau serupa maka metode cost plus atau metode resale price digunakan.
pendekatan laba apabila ketiga metode di atas sulit digunakan, pendekatan laba dapat dilakukan dengan pendekatan laba perusahaan sebanding (comparable profit) atau tingkat hasil investasi ( return on investment ) dari usaha yang sama, serupa atau sejenis.
Harga pembelian
Dalam penyelesaian kasus atas kekurang wajaran harga pembelian, maka untuk menentukan harga wajar dari transaksi pembelian ini, pertama-tama dicari harga pasar sebanding untuk barang yang sama, sejenis atau serupa atas pembelian atau impor dari pihak yang tidak ada hubungan istimewa atau antar pihak-pihak yang tidak ada hubungan istimewa. Apabila ditemui kesulitan maka pendekatan harga jual minus dapat diterapkan.
Alokasi biaya administrasi dan umum ( overhead cost )
Kasus ini terjadi apabila terjadi alokasi biaya kantor pusat oleh Bentuk Usaha Tetap di Indonesia, alokasi biaya administrasi dan umum diperbolehkan sepanjang sebanding dengan manfaat yang diperoleh masing-masing BUT dan besarnya biaya yang dapat dialokasikan dihitung berdasarkan faktor-faktor tertentu yang dapat mencerminkan dengan baik proporsi manfaat yang diterimanya.
Pembebanan bunga atas pemberian pinjaman oleh pemegang saham ( share holder loan )
Ketentuan ini memuat penentuan kembali utang sebagai modal dalam kerangka bahwa pemberi pinjaman dalam hal ini pemegang saham belum menyetor penuh modalnya. Aplikasi ini adalah menentukan bagian pinjaman sejumlah modal yang belum disetor tersebut sebagai modal ( penyertaan kreditur yang sekaligus juga merupakan pemodal ) dan bunga pinjaman atas pinjaman tersebut dianggap sebagai pemberian dividen. Dengan demikian pembayaran bunga yang dianggap sebagai dividen tidak dapat dikurangkan sebagai biaya dalam perhitungan Penghasilan Kena Pajak.
Pembayaran komisi, lisensi, franchise, sewa, royalti, imbalan atas jasa manajemen, imbalan atas jasa teknik dan imbalan atas jasa lainnya
Untuk menentukan harga wajar dari transaksi tersebut dapat digunakan pendekatan transaksi ( penggunaan metode-metode arm’s length ). Tetapi karena transaksi ini merupakan transaksi transfer pricing atas intangibles ( hak atas kekayaan intelektual ) maka dalam penentuan harga wajar perlu dipertimbangkan faktor seperti tarif yang berlaku untuk intangible serupa pada bidang industri yang sama, harga penawaran, karakter dan keunikan intangible, nilai jasa dari pemegang hak.
Pembelian harta perusahaan oleh pemegang saham ( pemilik ) atau pihak yang mempunyai hubungan istimewa yang lebih rendah dari harga pasar
Untuk menentukan harga wajar atas transaksi pembelian maka digunakan harga pasar wajar sebanding untuk barang yang sama atau serupa atau sejenis
Penjualan kepada pihak luar negeri melalui pihak ketiga yang kurang/tidak mempunyai substansi usaha ( misalnya dummy company, letter box company atau reinvoicing center )
Digunakan pendekatan substansi bisnis, sehingga untuk penghitungan pajak, transaksi penjualan dari perusahaan Indonesia ke perusahaan di luar negeri dengan perantaraan perusahaan letter box company dianggap tidak ada, sehingga harga jual ditentukan kembali.
Pasal 9 ayat 2 UN Model mengatur bahwa apabila terjadi transaksi antara dua pihak yang mempunyai hubungan istimewa dan transaksi tersebut tidak arm’s length maka salah satu Negara pihak pada persetujuan dapat melakukan penyesuaian. Bila penyesuaian yang dilakukan oleh negara tersebut tidak diikuti oleh negara lainnya (correlative adjustment) maka akan terjadi pengenaan pajak berganda terhadap penghasilan yang sama di tangan orang yang berbeda.
Menurut Rachmanto Surahmat untuk meminimalisir terjadinya pengenaan pajak berganda tersebut maka ada dua alternatif yang bisa ditempuh yaitu
Misalnya, perusahaan X yang berdomisili di Negara A melakukan transaksi dengan perusahaan dalam grupnya, yaitu perusahaan Y di Negara B. Penyesuaian telah dilakukan terhadap X karena transaksinya tidak didasarkan pada arm’s length. Langkah yang ditempuh B dalam rangka correlative adjustment adalah dengan melakukan penetapan kembali pajak yang terutang.
Dengan mekanisme pengkreditan pajak sebagaimana diatur dalam pasal 2 Model P3B. Y dapat mengkreditkan pajak yang dibayar oleh X ( sebagai akibat penyesuaian ) di A.
Uraian di atas menjelaskan bagaimana identifikasi suatu transaksi apakah mengandung transfer pricing atau tidak dan menguraikan perlakuan perpajakan atas transaksi-transaksi transfer pricing.


KESIMPULAN
Transaksi transfer pricing adalah transaksi yang terjadi antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa, sehingga harga yang terjadi tidak bersifat arm’s length.
Implementasi transfer pricing cenderung dilakukan oleh perusahaan multinasional dengan tujuan untuk penghindaran pajak.
Implikasi pajak yang signifikan dari transaksi transfer pricing adalah berkurangnya atau hilangnya potensi penerimaan pajak yang seharusnya diperoleh.
Peraturan perpajakan Indonesia untuk menangani kasus transfer pricing sudah memadai hanya untuk aturan teknis pelaksanaannya perlu dibuat secara khusus. Misalnya dengan peningkatan status peraturan dari Surat Edaran menjadi peraturan yang lebih tinggi.
Kesepakatan harga transfer ( Advance Pricing Agreement ) mempunyai peranan penting dalam penyelesaian kasus transfer pricing dan yang lebih penting lagi dapat memberikan kepastian hukum kepada para Wajib Pajak
Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda ( P3B ) dapat menyelesaikan masalah transaksi transfer pricing antara negara yang terikat perjanjian P3B dengan correlative adjustment